Pelajaran Berharga di Balik Pemberlakuan UU ITE

Oleh, Rizki Iramdan Fauzi*

Ilustrasi: seputarbandungraya.com

Sudah 2 hari sejak Revisi UU ITE diberlakukan, gerak-gerik publik dalam aktivitas di media sosial mulai dibatasi. Revisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertujuan untuk mengontrol segala macam bentuk penyebaran informasi yang bersifat SARA, pencemaran nama baik dan bentuk penghinaan atau kejahatan media sosial di era millenium ini. 

CONDONG-ONLINE - Hal ini didukung dengan memanasnya dinamika perpolitikan Indonesia, tepatnya ketika buzzer Ahokers mulai mendominasi percaturan politik dan media nasional. Kejadian tersebut menyulut hasrat kelompok media lain untuk tampil baik sebagai lawan maupun kawan bagi buzzer lainnya.

Inilah politik bak sinetron yang tak kunjung usai selalu menyuguhkan sandiwara para elit dan kelompok kepentingan untuk memenuhi hasrat politik masing-masing. Tindakan menjustifikasi kebenaran dan kesalahan sangat masif baik di media online maupun media sosial yang dapat diakses 24 jam oleh pengguna.

Kebijakan tersebut menyebabkan terpecahnya dua kubu yaitu pro dan kontra. Kontroversi ini berawal tahun 2008 ketika muncul klaim bahwa kebijakan tersebut sebagai bentuk pembatasan kebebasan berekspresi netizen. Kubu pro menyatakan Revisi UU ITE penting untuk menjaga keharmonisan publik dalam memanfaatkan internet sebagai media komunikasi. Lebih jauh untuk menghindari spam informasi seeperti SARA, pornografi, terorisme dan lainnya.

Berbeda dengan kubu kontra, seperti yang disampaikan oleh Damar Juniarto selaku Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) yang kecewa dengan keputusan Revisi UU ITE, ia berargumen bahwa kebijakan tersebut menjadi pemberangusan sikap kritis dan kebebasan ekspresi publik dalam menanggapi dinamika ekonomi politik rezim pemerintahan.

Terdapat sebagian yang khawatir akan kebijakan tersebut, dalam implementasi akan menimbulkan pemberangusan idealisme dan kendala negara demokrasi, istilahnya akan banyak netizen yang dipenjara dengan alasan sikap kritis terhadap rezim dan alasan agama seperti klaim sebagian kelompok yang menegaskan aksi 4/11 sebagai ancaman kebhinekaan dan integrasi nasional.

            Di satu sisi netizen dirugikan karena pembatasan-pembatasan tersebut, namun di sisi lain menguntungkan rezim. Realitanya pada konteks ini kondisi rezim sedang digoyang oleh massa atas ketidaktegasan sikap dan tindakan dalam mengadili sang Penista Agama. Selain itu kebijakan lainnya seperti permasalahan utang Indonesia dan prasangka sebagian kelompok yang menyatakan adanya agenda cinaisasi atau communism back. Dalam konteks tersebut mengindikasikan adanya kepentingan elit dalam pengesahan kebijakan Revisi UU ITE.

Akan tetapi, kontrovesi kebijakan UU ITE telah memberikan pelajaran berharga bagi netizen untuk tetap menjaga kesopanan dan keharmonisan di zona publik dengan tidak menyebarluaskan informasi yang dapat menyebabkan kebencian, perselisihan dan perpecahan di masyarakat akibat kriminalisasi media. Terutama Indonesia sebagai bangsa yang beretika sudah sepantasnya untuk tetap menjaga keutuhan bangsa. Selain itu sebagai kontrol pemerintah dalam menghalau hoax dan hack yang bebas tersebar di media sosial.

Sementara itu Donny B.U, pengamat internet dan Direktur Eksekutif  ICT Watch menyarankan agar hasil revisi UU ITE tersebut tidak dijadikan rezim sebagai bentuk pembatasan kebebasan ekspresi mutlak. Walaupun penting diadakan pembatasan-pembatasan informasi dan peringatan bagi publik untuk memperhatikan setiap informasi, publikasi yang akan disebar ke internet dan media sosial.[]

*Penulis merupakan alumni pesantren Condong

Mahasiswa Jurusan llmu Politik UI

 

News and Event / News    Dibaca 2.217x


Artikel Lainnya


Beri Komentar

  • TENTANG KAMI

    Majalah condong online seputar berita dan artikel tentang kajian/dunia islam, tips & inspiration, family, event, radio online, dll.

  • CONDONG-ONLINE.COM

  • Pengunjung Website