HARDIKNAS: Pendidikan Karakter Saja Belum Cukup! Part 1

Ilustrasi: Condong-online/Lena Sa`yati

Polemik Moral dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan telah hangat dan banyak dibicarakan oleh pakar-pakar pendidikan yaitu mengenai pendidikan karakter. Dengan fakta yang menunjukkan bahwa karakter bangsa di era globalisasi ini merosot dengan sangat tajam, hal inilah yang melatarbelakangi munculnya pendidikan berkarakter yang dianggap sebagai suatu media yang paling jitu dalam mengembangkan potensi anak didik baik berupa keterampilan maupun wawasan.

Sebagaimana tercantum dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Nomor 20 Pasal 3 tentang sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kref, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang terakhir dijelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan: Pendidikan akhlak (karakter) masih digabung dalam mata pelajaran agama dan diserahkan sepenuhnya pada guru agama karena pendidikan karakter sendiri, yang pelaksanaannya sepenuhnya dibebankan pada guru agama saja. Terang saja hingga kini pelaksanaan dari pendidikan karakter itu sendiri belum mencapai batas yang optimal. Hal ini terbukti dari fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter.

Perilaku buruknya karakter atau tidak berkarakter dapat dilihat secara seksama dengan semakin maraknya terjadi tawuran antar pelajar, adanya pergaulan bebas, dan adanya kesenjangan sosial-ekonomi-politik di masyarakat, kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh pelosok negeri, masih terjadinya ketidakadilan hukum, kekerasan dan kerusuhan, dan korupsi yang mewabah dan merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat, tindakan anarkis dan konflik sosial.

Pada kondisi seperti ini seolah-olah pendidikanlah yang harus bertanggungjawab. Atas dasar tersebut, munculnya pendidikan karakter yang berasal dari Barat seakan-akan menjadi solusi utama yang secara terus-menerus dibangun dan dikembangkan agar dari proses pelaksanaannya menghasilkan generasi yang diharapkan. Ternyata tidak cukup hanya dengan karakter yang baik saja untuk menciptakan generasi bangsa ini menjadi generasi yang bermartabat dan beradab, tetapi kita membutuhkan pendidikan spiritual yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang maha esa dalam konsep pendidikan akhlak.

Konsep Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sosial untuk membantu pembentukan karakter secara optimal).

Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang dilakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Adapun dalam desain induk Pendidikan Karakter, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI juga telah menjelaskan konfigurasi karakter dalam konteks proses psikososial dan sosial-kultural dalam empat kelompok besar, yaitu: (1) Olah Hati (spiritual and emotional development); (2) Olah Fikir (intellectual development); (3) Olah Raga dan Kinestetik (physical and kinesthetic development); dan (4) Olah Rasa dan Karsa (affective and creativity development).

Menurut Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga Negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga Negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Thomas Lickona menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan/ tindakan moral) yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebaikan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lickona di bawah ini:

Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good, habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for leading a moral life, all three make up moral maturity. When we think about the kind of character we want for our children, it`s clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within.

Terjemah bebasnya “Karakter sehingga dipahami memiliki tiga bagian yang saling terkait yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral. Karakter yang baik terdiri dari mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik, kebiasaan pikiran, kebiasaan jantung, dan kebiasaan tindakan. Ketiga diperlukan untuk menjalani kehidupan moral, ketiga membuat kematangan moral. Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan untuk anak-anak kita, jelas bahwa kami ingin mereka untuk dapat menilai apa yang benar, sangat peduli tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini benar, bahkan di wajah tekanan dari luar dan godaan dari dalam”.

Oleh karena itu pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai individu merupakan tujuan dari pelaksanaan pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter yang terutama dinilai adalah perilaku antar sesama manusia (Hablu minannas).

Bersambung ke sini

Community / Guru Menulis    Dibaca 1.698x


Artikel Lainnya


Beri Komentar

  • TENTANG KAMI

    Majalah condong online seputar berita dan artikel tentang kajian/dunia islam, tips & inspiration, family, event, radio online, dll.

  • CONDONG-ONLINE.COM

  • Pengunjung Website